KERAJAAN MATARAM SECARA SINKRONIS
X.MIA-3
SMAN 1 KARANGANOM
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan
tugas Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Islam yang
berjudul
“Kerajaan Mataram”.
Ucapan terima kasih diperuntukkan
bagi guru pembimbing yang telah
membimbing saya
dalam menyelesaikan tugas ini.
Di samping itu, penulis juga
menyadari bahwa tugas ini masih dangkal
dalam pembahasan
dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
mengharapkan
adanya kritik dan saran serta tanggapan yang sifatnya membangun
tugas ini agar
mendekati kesempurnaan.
Semoga tugas ini
bermanfaat bagi penulis khususnya, rekan siswa
dan pembaca pada
umumnya.
Klaten,27
September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ....................................... 2
DAFTAR ISI ...................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................4
1.2 Rumusan masalah ........................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................ 4
1.4 Manfaat Penulisan .........................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 sejarah kerajaan mataram . . . . . . . . 6
2.2 kerajaan mataram kuno . . . . . . . . . . 7
2.3 kehidupan social ekonomi masyarakat mataram kuno
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 13
2.4 kerajaan mataram islam . . . . . . . . . . 14
2.5 kerajaan mataram hindu budha . . . . . . . 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................35
b. DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582 pusat kerajaan ini terletak
disebelah tenggara Yogyakarta, yakni di Kota Gede, para raja memerintah di
Kerajaan Mataram ini yaitu Penembahan Senopati (1584 – 1601), Mas Jolang
(1601 – 1677), Mas Jolang (1606 – 1677) dan Adipati Martapura.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai oleh Kesultanan Pajang sebagai
balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya penangsung, Sultan
Hadiwijaya menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahahan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa
masalah tentang latar belakang berdirinya Kerajaan Mataram , Raja-raja
yang memerintah di Kerajaan dan perebutan Kerajaan Mataram.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menyelesaikan tugas semester.
2. Mengasah kemampuan penulis secara akademik untuk membahas tentang
Kerajaan Mataram .
3. Untuk menambah wawasan atau pemahaman terhadap Mataram.
4. Mencapai nilai yang bagus.
1.4 Manfaat penulisan
Dengan penulisan ini ssemoga bermanfaat bagi:
1. siswa dalam menggali ilmu dan pengetahuan tentang Mataram .
2. Sebagai bahan bacaan dalam menggali ilmu
tentang Kerajaan mataram .
BAB II
ISI
Sejarah
Berdirinya Kerajaan Mataram.
Didalam sejarah disebutkan bahwa kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam di
Pulau Jawa yang berdiri pada abad ke 17. Kerajaan Mataram ini dipimpin oleh
suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim
sebagai cabang ningrat yaitu keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah
suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, yang berpusat di Bumi Mentaok dan
diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat
pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Pada abad ke 8 di pedalaman Jawa Tengah disebutkan berdiri sebuah Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram ini diterangkan didalam Carita Parahyangan.
Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Pada Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.
Anak Sannaha, yang bernama Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu, yaitu tepatnya pada tahun 717 M.
Kerajaan Mataram Kuno
Mataram
Kuno: Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra
Di Jawa Tengah pada abad ke-8 M telah berdiri sebuah kerajaan, yakni
Mataram. Mataram yang bercorak Hindu-Buddha ini diperintah oleh dua dinasti
(wangsa) yang berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Ibukota
Mataram adalah Medang atau Medang Kamulan hingga tahun 925. Pada Prasasti
Canggal terdapat kata-kata “Medang i bhumi Mataram”.
Namun, hingga sekarang letak pasti ibukota ini belum diketahui.
Berdasarkan Prasasti Canggal diketahui,
Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Sanna kemudian digantikan
oleh keponakannya, Sanjaya. Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja
Sanna (Sanna tidak memiliki keturunan). Sanjaya memerintah dengan bijaksana
sehingga rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Hal ini terlihat dari
Prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas.
Selain pada Prasasti Canggal, nama Sanjaya juga tercantum pada Prasasti
Balitung.
Prasasti Canggal
Prasasti Canggal
Prasasti
ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang
Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi
raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha,
saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang. Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan.
Setelah Sanjaya, Mataram diperintah
oleh Panangkaran. Dari Prasasti
Balitung diketahui bahwa Panangkaran bergelar Syailendra
Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini
menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga
keluarga Syailendra. Sepeninggal Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi
dua, Mataram bercorak Hindu dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah Mataram-Hindu
meliputi Jawa Tengah bagian utara, diperintah oleh Dinasti Sanjaya dengan
raja−rajanya seperti Panunggalan, Warak, Garung, dan Pikatan. Sementara wilayah
Mataram- Buddha meliputi Jawa Tengah bagian selatan yang diperintah Dinasti Syailendra
dengan rajanya antara lain Raja Indra.
Perpecahan di Mataram ini tidak
berlangsung lama. Pada tahun 850, Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya mengadakan
perkawinan politik dengan Pramodhawardhani dari
keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram dapat dipersatukan
kembali. Pada masa pemerintahan Pikatan−Pramodhawardani, wilayah Mataram
berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur. Pikatan juga berhasil
mendirikan Candi Plaosan.
Sepeninggal Pikatan, Mataram
diperintah oleh Dyah Balitung (898 −910 M). Setelah Balitung, pemerintahan
dipegang berturut−turut oleh Daksa, Tulodong, dan Wawa. Raja Wawa memerintah
antara tahun 924−929 M. Ia kemudian digantikan oleh menantunya bernama Mpu
Sindok.
Pada masa pemerintahan Mpu Sindok
inilah, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur. Hal ini
disebabkan semakin besarnya pengaruh Sriwijaya yang diperintah oleh
Balaputradewa. Selama abad ke−7 hingga ke−9 terjadi serangan−serangan dari
Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram semakin terdesak ke timur.
Selain itu, adanya bencana alam berupa letusan Gunung Merapi merupakan salah
satu penyebab kehancuran Mataram. Letusan gunung ini diyakini oleh masyarakat
Mataram sebagai tanda kehancuran dunia. Oleh karena itu, mereka menganggap letak
kerajaan di Jawa Tengah sudah tidak layak dan harus dipindahkan.
Candi Plaosan
Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha berpusat di Jawa
Tengah bagian selatan, sedangkan Dinansti Sanjaya yang bercorak Hindu berpusat
di Jawa Tengah bagian utara. Perbedaan letak antara dua dinasti ini terlihat
dari perbedaan arsitektur candi-candi yang ada di Jawa Tengah bagian selatan
dan utara. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui, raja pertama Mataram
dari Dinasti Sanjaya adalah Raka i Mataram Ratu Sanjaya yang memerintah di
ibukota Medang Kamulan. Berdasarkan isi Prasasti Mantyasih (Kedu) terdapat
beberapa dari Wangsa Sanjaya yang memerintah di kemudian hari.
Antara Wangsa Syailendra dengan Sanjaya terjadi persaingan, namun kedua wangsa tersebut sempat menjalin hubungan baik. Pada abad ke-9 terjadi perkawinan antara Rakai Pikatan dari Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Syailendra. Perkawinan ini mendapat tentangan dari Balaputeradewa, adik Pramodawardhani. Setelah bertikai dengan Pikatan dan kalah, Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke Sriwijaya, dan menjadi raja di sana, karena Balaputeradewa mempunyai darah Sriwijaya dari ibunya, Dewi Tara, yang merupakan keturunan Sriwijaya. Sedangkan Rakai Pikatan yang berhasil menyingkirkan Balaputradewa mendirikan Candi Roro Jonggrang (Prambanan) yang bercorak Siwa. Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang berbeda agama ini banyak mendirikan bangunan yang bercorak Hindu maupun Buddha. Rakai Pikatan mendirikan Candi Loro Jongrang, sedangkan Pramodarwadhani sangat memperhatikan Candi Borobudur di Bumisambhara yang dibangun oleh ayahnya, yaitu Samaratungga pada 842 M.
Antara Wangsa Syailendra dengan Sanjaya terjadi persaingan, namun kedua wangsa tersebut sempat menjalin hubungan baik. Pada abad ke-9 terjadi perkawinan antara Rakai Pikatan dari Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Syailendra. Perkawinan ini mendapat tentangan dari Balaputeradewa, adik Pramodawardhani. Setelah bertikai dengan Pikatan dan kalah, Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke Sriwijaya, dan menjadi raja di sana, karena Balaputeradewa mempunyai darah Sriwijaya dari ibunya, Dewi Tara, yang merupakan keturunan Sriwijaya. Sedangkan Rakai Pikatan yang berhasil menyingkirkan Balaputradewa mendirikan Candi Roro Jonggrang (Prambanan) yang bercorak Siwa. Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang berbeda agama ini banyak mendirikan bangunan yang bercorak Hindu maupun Buddha. Rakai Pikatan mendirikan Candi Loro Jongrang, sedangkan Pramodarwadhani sangat memperhatikan Candi Borobudur di Bumisambhara yang dibangun oleh ayahnya, yaitu Samaratungga pada 842 M.
Candi Prambanan / Loro Jonggrang
Susunan
raja-raja yang memerintah di Mataram berdasarkan Prasasti Balitung (Mantyasih)
adalah: Rakai Mataram Ratu Sanjaya, Rakai Tejah Purnapana Panangkaran, RakaI
Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung Patapan, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi,
Rakai Watukumalang, Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu, Daksa,
Tulodhong, Wawa, dan Mpu Sindok.
Prasasti ini dibuat oleh Dyah Balitung yang
memerintah dari 898 hingga 910. Setelah Mpu Sindok menjadi raja (929),
pusat-pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pemindahan ini dikarenakan pusat kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan
Gunung Merapi. Mpu Sindok kemudian mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti
Isyana. Ia memerintah hingga tahun 949. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal
adalah Dharmawangsa yang memerintah
990−1016. Dharmawangsa pernah berusaha untuk mengalihkan pusat perdagangan dari
Sriwijaya pada 990, akan tetapi mengalami kegagalan karena Sriwijaya gagal
ditaklukkan.
Pada tahun 1016 Dharmawangsa dan
keluarganya mengalami pralaya (kehancuran)
akibat serangan dari Sriwijaya yang bekerja sama dengan kerajaan kecil di Jawa
yang dipimpin Wurawari.
Akibat
serangan ini kerajaan Dharnawangsa mengalami kehancuran. Menantu Dharmawangsa
yang bernama Airlangga kemudian membangun kembali kerajaan, dan pada tahun 1019
ia dinobatkan menjadi raja. Keberhasilan Airlangga membangun kerajaan
diabadikan dalam karya sastra Mpu Kanwa yaitu Arjuna
Wiwaha. Pada 1041 Airlangga membagi dua kerajaan menjadi Janggala
dan Panjalu.
Arca Airlangga
Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Sumber−sumber berita Cina
mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan
perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini
terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina.
Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan
kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram.
Dari Prasasti
Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di
Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka
membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi
Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri.
Namun, sumber−sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang−orang
asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibukota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibukota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat
Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan
sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa
(disebut wanua) memelihara ternak seperti
kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga
berdagang dan menjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai
didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan
berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang
dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarter dengan
kebutuhan yang lain.
Selain pertanian, industri rumah tangga juga
sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman seperti
keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa,
arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di
pasar−pasar tadi.
Sementara itu, bila seseorang berjasa
(biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang
bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu
adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi
tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru dihadiahkan
kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala
desa),
senopati, atau adipati atau menteri.
Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahib untuk
dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut
biasanya didirikan candi atau wihara.
Kerajaan mataram islam
Kerajaan
Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah
tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Dalam sejarah Islam, Kerajaan
Mataram Islam memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja
untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengIslamkan para penduduk daerah
kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan
yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal
dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya
berlangsung di pinggiran Kali Opak, di Yogyakarta sekarang. Suatu hari, adalah
seorang petani bernama Ki Ageng Giring. Sementara ia mencangkul di ladang,
tiba-tiba ada kelapa muda jatuh lalu terdengar suara; “barangsiapa minum air
kelapa muda ini, ia dan keturunannya bakal berkuasa di Tanah Jawa”. Konon
“wahyu keprabon” yang ada dalam kelapa muda itu adalah sabda wali terkenal di
Jawa, Sunan Kalijaga. Ki Ageng Giring lalu membawa pulang cengkir (kelapa muda)
yang masih hijau segar itu. Namun ia tak bisa segera meminumnya, karena pada
saat itu ia sedang tirakat berpuasa, hingga kemudian ia pergi membersihkan diri
di sungai. Tak lama kemudian datang sahabatnya, Ki Gede Pemanahan bertamu.
Melihat kelapa muda tergeletak, tamu yang haus itupun segera meminumnya. Pada
tetes terakhir Ki Ageng Giring muncul. Ia melihat air kelapa muda itu telah
terminum oleh orang lain. Ia sangat menyesal dan kecewa. Tapi apa daya, ia hanya
bisa meminta, agar sewaktu-waktu kelak, sesudah keturunan Gede Pemanahan yang
ketujuh, keturunannya lah yang akan menggantikan menguasai Jawa”.
Banyak
versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos
dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan
kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu
versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan
mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan
ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya
Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo
Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada
2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan
dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki
Penjawi memperoleh tanah di Pati. Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok
itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang
siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada
tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut
Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada
Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri
sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian
dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede.
Gambar : Wilayah Mataram Islam
A. AWAL BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM
ISLAM
Setelah
kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa
Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang
berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga
kerajaan Demak yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah
sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat
membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara
tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan
dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Pemanahan, dan
anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun karena Sutawijaya adalah anak angkat
Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila Ki Pemanahan memberitahukannya kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru
Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi memberitahukan kepada
Sultan bahwa merekalah yang membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan
memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan
berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan
lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai
atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya,
Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar.
Sutawijaya kemudian berhasil memberontak kepada Pajang. Setelah Sultan
Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram
dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah
bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senopati bertahta
sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus
berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah,
Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun
berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji sebagai
pembangun Mataram.
B. SISTEM PEMERINTAHAN MATARAM ISLAM
Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan daerah pesisir supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Beliau juga merupakan penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah Grebeg Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645.
Ia diganti oleh
putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat
ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan
banyak pembunuhan dan kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan
Mataram dipindahkan ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya
yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri.
Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya
berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi
sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan
akhirnya wafat.
Ia digantikan
oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan
Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat
tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya
berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai
konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus
menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian
akibat perang.
Setelah Sunan
Amangkuat II meninggal meninggal pada tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya
yang bernama Sunan Mas (Sunan Amangkurat III). Dia juga sangat menentang VOC.
Karena pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan
Amangkurat III sehingga VOC mengangkat Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah
perang saudara (perang perebutan mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku
Buwana I, namun Amangkurt III menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku
Buwana I meninggal tahun 1719 dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam
pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya,
dalam hal ini Voc kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah
perang Perebutan Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV
meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa
pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu
memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan
Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat
Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini
menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak
China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga.
Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah
porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah
itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana
menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum pemerontak dengan janji akan
memberikan tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil
tetapi Paku Buwono II mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai
dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan pemberontakan bersama-sama hingga
pecah Perang Perebutn Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat
menghadapi kekuatan merea berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada
tahun 1749. Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III.
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
Raja-Raja Mataram Islam :
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
Raja-Raja Mataram Islam :
1.
Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2.
Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
3.
Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646 M)
4.
Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II dikenal juga sebagai Sunan
Amral (1677- 1703 M)
6.
Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7.
Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
8.
Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
9.
Paku Buwana II (1727-1749 M)
10.
Paku Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
11.
Sultan Agung.
B. SUMBER SEJARAH MATARAM ISLAM
Sumber
sejarah mengenai periode kerajaan Pajang dan permulaan kerajaan Mataram
Islam sebenarnya sangat terbatas. Sumber tersebut sebagian besar terdiri
dari naskah-naskah Babad, Serat ataupun tradisi lisan. Sumber asing baik dari
Portugis pada abad ke 16 dan permulaan abad ke 17 sebagian besar hanya
menyinggung kejadian-kejadian di kota-kota pantai, baik yang mengenai kegiatan
perdagangan ataupun sedikit mengenai kerajaan. Oleh karena itu untuk
menguraikan sejarah timbulnya kerajaan Mataram Islam terpaksa hanya didasarkan
atas sumber-sumber dalam negeri tersebut.
KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi
Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram
dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan serayu, gunung prau,
gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu, gunung merapi,
pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul. Daerah ini
juga banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo,
Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Kerajaan ini sering
disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram
Baru atauKesultanan Mataram (Islam).
Kerajaan Mataram merupakan daerah yang subur yang memudahkan terjadinya
pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dan merupakan kekuatan utama
bagi Negara darat..
Kerajaan
Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10.Nama Mataram sendiri pertama kali
disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
A. Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)
- Sejarah dan Lokasi
Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia
juga merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama
Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan
Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora
dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah. Bratasenawa
beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta
bantuan pada Tarusbawa.
Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu Harisdarma
sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.
Sanjaya yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu menguasai
Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya.
Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu Harisdarma yang
juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang
disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M. Sanjaya
atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja
Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno
sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
2.
Sumber Sejarah
Prasasti Canggal
Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di
desa Canggal berangka Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan
huruf pallawa dan bahasa sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan
tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang merupakan agama
Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanya
serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang kemudian
digantikan oleh Sanjaya.
Prasasti
Metyasih/Balitung
Prasasti ini
ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M. Prasasti Metyasih yang
diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat
dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah
tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar
terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.
3.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya
Dari prasasti
Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah
berkuasa, yaitu :
1. Rakai Mataram
Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian
candi-candi siwa di Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas
profesional. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh
umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat.
Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak
cucunya. Apabila sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus
berhati-hati dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang
raja. Bila melihat gerak lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan
tindakan dan harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran
menagkap tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan
gentar dihadapan sang raja.
Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada
seluruh punggawa dan prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk
mencapai kehidupan sempurna, yaitu :
· Tresna (Cinta
Kasih)
· Gumbira
(Bahagia)
· Upeksa (tidak
mencampuri urusan orang lain)
· Mitra (Kawan,
Sahabat, Saudara atau Teman)
Sri Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia
digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.
2. Sri Maharaja
Rakai Panangkaran (760-780 M)
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil
mengambangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita
ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi
wilayahnya.
Nasehatnya yang
terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia adalah :
· Kasuran
(Kesaktian)
· Kagunan
(Kepandaian)
· Kabegjan
(Kekayaan)
· Kabrayan
(Banyak Anak Cucu)
· Kasinggihan
(Keluhuran)
· Kasyuwan
(Panjang Umur)
· Kawidagdan
(Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya
tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal
dengan nama Candi Kalasan.
3. Sri Maharaja
Rakai Panaggalan (780-800 M)
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli
terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai
Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
seperti berikut ini“Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi
derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi
Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan.
Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat
Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur
Guru terdiri dari :
· Guru Sudarma,
orang tua yang melairkan manusia.
· Guru Swadaya,
Tuhan
· Guru Surasa,
Bapak dan Ibu Guru di sekolah
· Guru Wisesa,
Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian
penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran hukum dan
pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.
4. Sri Maharaja
Rakai Warak (800-820 M)
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada
cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer
berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan.
Rakai Warak
sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat
Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :
1. Kewajiban raja
adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2. Pakaian raja
adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada
yang bersalah dan berjasa.
3. Kekuatan raja
adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.
5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting
terhadap segala macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai
Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap
keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam
menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya
parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada
yang dimaksud, yaitu :
· Manacika yang
berarti berfikir yang baik dan benar.
· Wacika yang
berarti berkata yang baik dan benar.
· Kayika yang
berarti berbuat yang baik dan benar.
6. Sri Maharaja
Rakai Pikatan (840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M)
menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan
kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah
kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan
bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke
Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi
Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam
prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan
konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang
mempengaruhi kehidupan manusia.
7. Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai
Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu
memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya.
Pada masa
pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada enam alat
untuk mencari ilmu, yaitu :
1. Bersungguh-sungguh
tidak gentar
Semua tutur
kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2. Bertenggang
rasa
Memperhatikan sikap yang kurang baik
dengan kebenaran.
3. Ulah pikiran
Menimbang-nimbang
dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran
yang tepat.
4. Penerapan
ajaran
Dalam setiap
melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan
melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui
5. Kemauan
Sanggup sehidup
semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan
niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan
6. Menguasai
berbagai bahasa
Memahami semua
bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.
8.Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam
menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah Tri
Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan
kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama Arta terdiri dari :
1. Cinta Kasih,
menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2. Punian,
perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu
yang dimiliki secara ikhlas.
3. Bakti,
perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan
pemerintah.
9. Sri Maharaja
Watukumara Dyah Balitung (898 – 915 M)
Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang
teknokrat intelektual yang handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi
gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa
keemasan bagi Wangsa Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk
mengembangkan kemajuan masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907
Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja
Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan
wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal
pada masa itu.
10.Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)
Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan
istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk
menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu.
11. Sri Maharaja
Dyah Tulodhong (919 – 921 M)
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada
masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut
termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun 809 M.
Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana
12. Sri Maharaja
Dyah Wawa ( 921 – 928 M)
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram
pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi,
sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional.
Roda
perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan
pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti
tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang
menciptakannya, Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan
ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.
13. Sri Maharaja
Rakai Empu Sendok (929 – 930 M)
Empu Sendok,
terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan kecakapannya. Manajemen
dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.
4. Keruntuhan
Wangsa Sanjaya
Pada abad
ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang memiliki
integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan
Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah
Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh
Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.
B. Mataram Budha – Wangsa Syailendra
(752 M)
1. Sejarah dan Lokasi
Syailendra adalah wangsa atau dinasti Kerajaan Mataram
Kuno yang beragama Budha. Wangsa Syailendra di Medang, daerah Jawa Tengah
bagian selatan. Wangsa ini berkuasa sejak tahun 752 M dan hidup berdampingan
dengan Wangsa Sanjaya.
2. Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan
yang berangka tahun 778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul
keluarga Syailendra, Yaitu :
Sumber India
Nilakanta
Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakah
bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena
terdesak oleh Dapunta Hyan.
Sumber Funan
Codes
beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan
(Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan
Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M
dengan menggunakan nama Syailendra.
Sumber Jawa
Menurut
Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di era
pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli
dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama
Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang
menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan
memintanya untuk berpindah agama.
Selain dari teori tersebut di atas
dapat dilihat dari beberapa Prasasti yang ditemukan, Yaitu :
Prasasti Sojomerto
Prasasti yang
berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto,
Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut
agamat Siwa
Prasasti Kalasan
Prasasti yang
berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya. Prasasti ini
menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas
permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk
umat Budha.
Prasasti Klurak
Prasasti yang
berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca
Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan Sanggha. Prasasti ini
juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra.
Prasasti Ratu Boko
Prasasti
berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam
perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang.
Nama Syailendra juga muncul dalam
Prasasti Klurak (782 M) “Syailendrawansantilakena”, Prasasti
Abhayagiriwihara (792 M) “Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti
Kayumwunan (824 M) “Syailendrawansatilaka”,
3. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Politik
Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra
ditafsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang
menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong. Dari segi budaya Kerajaan
Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan megah dan
bernilai.
Adapun
Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1. Bhanu (752 – 775 M)
Raja Banu merupakan Raja pertama
sekaligus pendiri Wangsa Syailendra
2. Wi
Pada masa pemerintahannya, Candi
Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.
3. Indra
(782 –
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra
membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan
4. Samaratungga ( 812 –
Raja Samaratungga berperan menjadi
pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha,
Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan budaya Pada masa pemerintahannya
Candi Borobudur selesai dibangun.
5.
Pramodhawardhani
adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri
Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan
bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja
Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6. Balaput
Balaputera Dewa
adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi Tara, puteri raja
Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai
Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa berhak
mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah
Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada
Rakai Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara
tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.
4. Keruntuhan
Wangsa Syailendra
Sejak terjadi
perebutan kekuasaan dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, agama Hindu mulai dominan
menggantikan agama Budha. Sejak saat itulah berakhirnya masa Wangsa Syailendra
di Bumi Mataram..
Dari kedua
Wangsa yang berkuasa di Bhumi Mataram tersebut, sampai saat ini masih dapat
dilihat bangunan-bangunan suci yang berbentuk, yaitu :
Candi di
pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi
Prambanan, Candi Sambi Sari dan masih banyak yang lainnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kerajaan mataram kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 masehi.Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikansebuah Lingga (lambang siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yangdidirikan oleh Raja Sanjaya. Adapun raja-raja yang sempat memerintah kerajaan Mataram Kuno antara lain: 1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M) 2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M) 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan (780-800 M) 4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M) 5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M) 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840-863 M) 7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (863-882 M) 8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-898 M) 9. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M) Ada beberapa aspek kehidupan yang mengalami perkembangan dalam kerajaan Mataram Kuno, antara lain: 1. Aspek Kehidupan Politik 2. Aspek Kehidupan Sosial 3. Aspek Kehidupan Ekonomi 4. Aspek Kehidupan Budaya Hindu-Buddha.
B.Daftar Pustaka
daftar pustakanya mana?
BalasHapusiya benar juga mana daftar pustakanya .?
BalasHapusDaftar pusaka
BalasHapus