Minggu, 28 September 2014

CONTOH MAKALAH SEJARAH KERAJAAN MATARAM SECARA SINKRONIS



KERAJAAN MATARAM SECARA SINKRONIS
X.MIA-3


SMAN 1 KARANGANOM
KATA PENGANTAR
               Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Islam yang
berjudul “Kerajaan Mataram”.
               Ucapan terima kasih diperuntukkan bagi guru pembimbing yang telah
membimbing saya dalam menyelesaikan tugas ini.
               Di samping itu, penulis juga menyadari bahwa tugas ini masih dangkal
dalam pembahasan dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran serta tanggapan yang sifatnya membangun
tugas ini agar mendekati kesempurnaan.
Semoga tugas ini bermanfaat bagi penulis khususnya, rekan siswa
dan pembaca pada umumnya.




Klaten,27 September 2014



Penulis


 
DAFTAR ISI
 
 
 
                                                                                                                  halaman
 
 
 
KATA PENGANTAR ....................................... 2
 
DAFTAR ISI ...................................................... 3
 
BAB I PENDAHULUAN
 
            1.1 Latar Belakang ........................................................4
 
            1.2 Rumusan masalah ........................................................ 4
 
            1.3 Tujuan Penulisan ........................................................ 4
 
            1.4 Manfaat Penulisan .........................................................5
 
BAB II PEMBAHASAN
 
            2.1 sejarah kerajaan mataram . .  . . . . . . 6
            2.2 kerajaan mataram kuno . . . . . . . . . . 7
            2.3 kehidupan social ekonomi masyarakat mataram kuno
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 13
            2.4 kerajaan mataram islam . . . . . . . . . . 14
            2.5 kerajaan mataram hindu budha . . . . . . . 21
BAB III PENUTUP
 
            A. Kesimpulan ...........................................................35
 
            b. DAFTAR PUSTAKA




 
BAB I
 
PENDAHULUAN
 
1.1 Latar Belakang
 
                Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582 pusat kerajaan ini terletak
   disebelah tenggara Yogyakarta, yakni di Kota Gede, para raja memerintah di
   Kerajaan Mataram ini yaitu Penembahan Senopati (1584 – 1601), Mas Jolang
   (1601 – 1677), Mas Jolang (1606 – 1677) dan Adipati Martapura.
 
                Pada awalnya daerah mataram dikuasai oleh Kesultanan Pajang sebagai
   balas jasa atas perjuangan dalam mengalahkan Arya penangsung, Sultan
   Hadiwijaya menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahahan.
 
 
1.2 Rumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa
   masalah tentang latar belakang berdirinya Kerajaan Mataram , Raja-raja
   yang memerintah di Kerajaan dan perebutan Kerajaan Mataram.
 
 
 
 
 
 
 
 
1.3 Tujuan Penulisan
               
               Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
   1. Untuk menyelesaikan tugas semester.
   2. Mengasah kemampuan penulis secara akademik untuk membahas tentang
      Kerajaan Mataram .
   3. Untuk menambah wawasan atau pemahaman terhadap Mataram.
   4. Mencapai nilai yang bagus.
 
 
1.4 Manfaat penulisan
               
               Dengan penulisan ini ssemoga bermanfaat bagi:
   1. siswa dalam menggali ilmu dan pengetahuan tentang Mataram .
   2. Sebagai bahan bacaan dalam menggali ilmu
      tentang Kerajaan mataram .








BAB II
ISI
Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram. Didalam sejarah disebutkan bahwa kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berdiri pada abad ke 17. Kerajaan Mataram ini dipimpin oleh suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai cabang ningrat yaitu keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, yang berpusat di Bumi Mentaok dan diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram

Pada abad ke 8 di pedalaman Jawa Tengah disebutkan berdiri sebuah Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram ini diterangkan didalam Carita Parahyangan.

Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Pada Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.

Anak Sannaha, yang bernama Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu, yaitu tepatnya pada tahun 717 M.

 

Kerajaan Mataram Kuno

Mataram Kuno: Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra
 Di Jawa Tengah pada abad ke-8 M telah berdiri sebuah kerajaan, yakni Mataram. Mataram yang bercorak Hindu-Buddha ini diperintah oleh dua dinasti (wangsa) yang berbeda, yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Ibukota Mataram adalah Medang atau Medang Kamulan hingga tahun 925. Pada Prasasti Canggal terdapat kata-kata “Medang i bhumi Mataram”. Namun, hingga sekarang letak pasti ibukota ini belum diketahui.
 Berdasarkan Prasasti Canggal diketahui, Mataram Kuno mula-mula diperintah oleh Raja Sanna. Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Sanjaya. Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna (Sanna tidak memiliki keturunan). Sanjaya memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat hidup makmur, aman, dan tenteram. Hal ini terlihat dari Prasasti Canggal yang menyebutkan bahwa tanah Jawa kaya akan padi dan emas. Selain pada Prasasti Canggal, nama Sanjaya juga tercantum pada Prasasti Balitung.

Prasasti Canggal

Picture

Prasasti Canggal

Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:

Bait 1     : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung

Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu

Bait 7    : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa

Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung


Bait 10-11
 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha)

Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang. Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan.

Setelah Sanjaya, Mataram diperintah oleh Panangkaran. Dari Prasasti Balitung diketahui bahwa Panangkaran bergelar Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Raka i Panangkaran. Hal ini menunjukkan bahwa Rakai Panangkaran berasal dari keluarga Sanjaya dan juga keluarga Syailendra. Sepeninggal Panangkaran, Mataram Kuno terpecah menjadi dua, Mataram bercorak Hindu dan Mataram bercorak Buddha. Wilayah Mataram-Hindu meliputi Jawa Tengah bagian utara, diperintah oleh Dinasti Sanjaya dengan raja−rajanya seperti Panunggalan, Warak, Garung, dan Pikatan. Sementara wilayah Mataram- Buddha meliputi Jawa Tengah bagian selatan yang diperintah Dinasti Syailendra dengan rajanya antara lain Raja Indra.
 Perpecahan di Mataram ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 850, Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya mengadakan perkawinan politik dengan Pramodhawardhani dari keluarga Syailendra. Melalui perkawinan ini, Mataram dapat dipersatukan kembali. Pada masa pemerintahan Pikatan−Pramodhawardani, wilayah Mataram berkembang luas, meliputi Jawa Tengah dan Timur. Pikatan juga berhasil mendirikan Candi Plaosan.
Sepeninggal Pikatan, Mataram diperintah oleh Dyah Balitung (898 −910 M). Setelah Balitung, pemerintahan dipegang berturut−turut oleh Daksa, Tulodong, dan Wawa. Raja Wawa memerintah antara tahun 924−929 M. Ia kemudian digantikan oleh menantunya bernama Mpu Sindok.         
Pada masa pemerintahan Mpu Sindok inilah, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur. Hal ini disebabkan semakin besarnya pengaruh Sriwijaya yang diperintah oleh Balaputradewa. Selama abad ke−7 hingga ke−9 terjadi serangan−serangan dari Sriwijaya ke Mataram. Hal ini mengakibatkan Mataram semakin terdesak ke timur. Selain itu, adanya bencana alam berupa letusan Gunung Merapi merupakan salah satu penyebab kehancuran Mataram. Letusan gunung ini diyakini oleh masyarakat Mataram sebagai tanda kehancuran dunia. Oleh karena itu, mereka menganggap letak kerajaan di Jawa Tengah sudah tidak layak dan harus dipindahkan.
Picture
Candi Plaosan
            Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinansti Sanjaya yang bercorak Hindu berpusat di Jawa Tengah bagian utara. Perbedaan letak antara dua dinasti ini terlihat dari perbedaan arsitektur candi-candi yang ada di Jawa Tengah bagian selatan dan utara. Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui, raja pertama Mataram dari Dinasti Sanjaya adalah Raka i Mataram Ratu Sanjaya yang memerintah di ibukota Medang Kamulan. Berdasarkan isi Prasasti Mantyasih (Kedu) terdapat beberapa dari Wangsa Sanjaya yang memerintah di kemudian hari.
            Antara Wangsa Syailendra dengan Sanjaya terjadi persaingan, namun kedua wangsa tersebut sempat menjalin hubungan baik. Pada abad ke-9 terjadi perkawinan antara Rakai Pikatan dari Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Syailendra. Perkawinan ini mendapat tentangan dari Balaputeradewa, adik Pramodawardhani. Setelah bertikai dengan Pikatan dan kalah, Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke Sriwijaya, dan menjadi raja di sana, karena Balaputeradewa mempunyai darah Sriwijaya dari ibunya, Dewi Tara, yang merupakan keturunan Sriwijaya. Sedangkan Rakai Pikatan yang berhasil menyingkirkan Balaputradewa mendirikan Candi Roro Jonggrang (Prambanan) yang bercorak Siwa. Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang berbeda agama ini banyak mendirikan bangunan yang bercorak Hindu maupun Buddha. Rakai Pikatan mendirikan Candi Loro Jongrang, sedangkan Pramodarwadhani sangat memperhatikan Candi Borobudur di Bumisambhara yang dibangun oleh ayahnya, yaitu Samaratungga pada 842 M.

Picture
Candi Prambanan / Loro Jonggrang

Susunan raja-raja yang memerintah di Mataram berdasarkan Prasasti Balitung (Mantyasih) adalah: Rakai Mataram Ratu Sanjaya, Rakai Tejah Purnapana Panangkaran, RakaI Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung Patapan, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watukumalang, Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu, Daksa, Tulodhong, Wawa, dan Mpu Sindok.
 Prasasti ini dibuat oleh Dyah Balitung yang memerintah dari 898 hingga 910. Setelah Mpu Sindok menjadi raja (929), pusat-pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pemindahan ini dikarenakan pusat kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Mpu Sindok kemudian mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyana. Ia memerintah hingga tahun 949. Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Dharmawangsa yang memerintah 990−1016. Dharmawangsa pernah berusaha untuk mengalihkan pusat perdagangan dari Sriwijaya pada 990, akan tetapi mengalami kegagalan karena Sriwijaya gagal ditaklukkan.
Pada tahun 1016 Dharmawangsa dan keluarganya mengalami pralaya (kehancuran) akibat serangan dari Sriwijaya yang bekerja sama dengan kerajaan kecil di Jawa yang dipimpin Wurawari.
Akibat serangan ini kerajaan Dharnawangsa mengalami kehancuran. Menantu Dharmawangsa yang bernama Airlangga kemudian membangun kembali kerajaan, dan pada tahun 1019 ia dinobatkan menjadi raja. Keberhasilan Airlangga membangun kerajaan diabadikan dalam karya sastra Mpu Kanwa yaitu Arjuna Wiwaha. Pada 1041 Airlangga membagi dua kerajaan menjadi Janggala dan Panjalu.


Picture
Arca Airlangga




Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno

            Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Sumber−sumber berita Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai ke−10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari Vietnam dan Cina. Kenyataan ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa, dalam hal ini Mataram.   
Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber−sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang−orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.
Dari berita Cina diketahui bahwa di ibukota kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para abdi. Di luar istana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman para pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya. Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di mana para hamba dan budak yang dipekerjakan di istana juga tinggal sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai. Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di samping itu, penduduk di desa (disebut wanua) memelihara ternak seperti kambing, kerbau, sapi, ayam, babi, dan itik. Sebagai tenaga kerja, mereka juga berdagang dan menjadi pengrajin.
           Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno. Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.

Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk dibarter dengan kebutuhan yang lain.
   
 Selain pertanian, industri rumah tangga juga sudah berkembang. Beberapa hasil industri ini antara lain anyaman seperti keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula kelapa, arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di pasar−pasar tadi.
   
 Sementara itu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian dibuka menjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu (kepala desa),
senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahib untuk dijadikan asrama sebagai tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi atau wihara.

Kerajaan mataram islam

Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Dalam sejarah Islam, Kerajaan Mataram Islam memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengIslamkan para penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya berlangsung di pinggiran Kali Opak, di Yogyakarta sekarang. Suatu hari, adalah seorang petani bernama Ki Ageng Giring. Sementara ia mencangkul di ladang, tiba-tiba ada kelapa muda jatuh lalu terdengar suara; “barangsiapa minum air kelapa muda ini, ia dan keturunannya bakal berkuasa di Tanah Jawa”. Konon “wahyu keprabon” yang ada dalam kelapa muda itu adalah sabda wali terkenal di Jawa, Sunan Kalijaga. Ki Ageng Giring lalu membawa pulang cengkir (kelapa muda) yang masih hijau segar itu. Namun ia tak bisa segera meminumnya, karena pada saat itu ia sedang tirakat berpuasa, hingga kemudian ia pergi membersihkan diri di sungai. Tak lama kemudian datang sahabatnya, Ki Gede Pemanahan bertamu. Melihat kelapa muda tergeletak, tamu yang haus itupun segera meminumnya. Pada tetes terakhir Ki Ageng Giring muncul. Ia melihat air kelapa muda itu telah terminum oleh orang lain. Ia sangat menyesal dan kecewa. Tapi apa daya, ia hanya bisa meminta, agar sewaktu-waktu kelak, sesudah keturunan Gede Pemanahan yang ketujuh, keturunannya lah yang akan menggantikan menguasai Jawa”.


Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati. Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede.






wilayah mataram islam
Gambar : Wilayah Mataram Islam


A.   AWAL BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM


Setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang masih mempunyai musuh yang kuat yang berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak yang bernama Arya Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah sayembara bahwa barang siapa mengalahkan Arya Penangsang atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi prajurit Pajang berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Di dalam peperangan akhirnya Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya adalah anak dari Ki Pemanahan, dan anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun karena Sutawijaya adalah anak angkat Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila Ki Pemanahan memberitahukannya  kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi memberitahukan kepada Sultan bahwa merekalah yang membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak kepada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senopati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

B. SISTEM PEMERINTAHAN MATARAM ISLAM

        Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan daerah pesisir supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Beliau juga merupakan penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah Grebeg Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645.
     Ia diganti oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan dan kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
      Ia digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
     Setelah Sunan Amangkuat II meninggal meninggal pada tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Mas (Sunan Amangkurat III). Dia juga sangat menentang VOC. Karena pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC mengangkat Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (perang perebutan mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt III menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719 dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini Voc kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah perang Perebutan Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Panaraga. Dengan bantuan VOC kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutn Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan merea berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749. Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III.
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.


Raja-Raja Mataram Islam :
1. Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak (1601- 1613 M)
3. Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
 5. Amangkurat II dikenal juga sebagai Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada 1703 M
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku Buwana I (1703-1719 M)
8. Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan Prabu (1719-1727 M)
9. Paku Buwana II (1727-1749 M)
10. Paku Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
11. Sultan Agung.

B. SUMBER SEJARAH MATARAM ISLAM
Sumber sejarah mengenai periode kerajaan Pajang dan permulaan kerajaan Mataram Islam sebenarnya sangat terbatas. Sumber tersebut sebagian besar terdiri dari naskah-naskah Babad, Serat ataupun tradisi lisan. Sumber asing baik dari Portugis pada abad ke 16 dan permulaan abad ke 17 sebagian besar hanya menyinggung kejadian-kejadian di kota-kota pantai, baik yang mengenai kegiatan perdagangan ataupun sedikit mengenai kerajaan. Oleh karena itu untuk menguraikan sejarah timbulnya kerajaan Mataram Islam terpaksa hanya didasarkan atas sumber-sumber dalam negeri tersebut.


KERAJAAN MATARAM HINDU-BUDHA
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan Bhumi MataramPada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram dikelilingi oleh banyak pegunungan seperti pegunungan serayu, gunung prau, gunung sindoro, gunung sumbing, gunung ungaran, gunung merbabu, gunung merapi, pegunungan kendang, gunung lawu, gunung sewu serta gunung kidul. Daerah ini juga  banyak mengalir sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan Bengawan Solo. Kerajaan ini sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuna sebagai pembeda dengan Mataram Baru atauKesultanan Mataram (Islam). Kerajaan Mataram merupakan daerah yang subur yang memudahkan terjadinya pertumbuhan penduduk yang  cukup pesat dan merupakan kekuatan utama bagi Negara darat..
Kerajaan Mataram berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10.Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.

A.   Mataram Hindu – Wangsa Sanjaya (732 M)
  1. Sejarah dan Lokasi
Prabu Harisdarma seorang raja dari Kerajaan Sunda. Ia juga merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah. Ayahnya bernama Bratasenawa yang merupakan raja ketiga Kerajaan Galuh. Saat pemerintahan Bratasenawa pada tahun 716 M, Kerajaan Galuh dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan Bratasena adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.  Bratasenawa beserta keluarga melarikan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan pada Tarusbawa.
Tarusbawa sendiri adalah teman dekat Prabu Harisdarma sendiri adalah suami dari cucu Tarusbawa.
Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh menyerang Purbasora yang saat itu menguasai Kerajaan Galuh dengan bantuan dari Tarusbawa dan berhasil melengserkannya. Prabu Harisdarma pun menjadi raja Kerajaan Sunda Galuh. Prabu Harisdarma yang juga ahli waris dari Kalingga, kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dan dikenal dengan nama Sanjaya pada tahun 732 M. Sanjaya atau Prabu Harisdarma, raja kedua Kerajaan Sunda (723-732 M), menjadi raja Kerajaan Mataram (Hindu) (732-760 M). ia adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno sekaligus pendiri Wangsa Sanjaya.
  
2.  Sumber Sejarah
      Prasasti Canggal

Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka Tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala. Menggunakan huruf pallawa dan bahasa sangsekerta. Isi dari prasasti tersebut menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) yang merupakan agama Hindu beraliran Siwa di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanya serta menceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah sena yang kemudian digantikan oleh Sanjaya.

Prasasti Metyasih/Balitung
Prasasti ini ditemukan di desa Kedu, berangka tahun 907 M.  Prasasti Metyasih yang diterbitkan oleh Rakai Watukumara Dyah Balitung (Wangsa Sanjaya ke-9) terbuat dari tembaga.. Prasasti ini dikeluarkan sehubungan dengan pemberian hadiah tanah kepada lima orang patihnya di Metyasih, karena telah berjasa besar terhadap Kerajaan serta memuat nama para raja-raja Mataram Kuno.
  
3.  Kehidupan Ekonomi, Sosial, Politik dan Budaya
Dari prasasti Metyasih tersebut, didapatkan nama-nama raja dari Wangsa Sanjaya yang pernah berkuasa, yaitu :
 1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
Masa Sanjaya berkuasa adalah masa-masa pendirian candi-candi siwa di Gunung Dieng. Kesusasteraan tidak menjadi monopoli kelas profesional. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang wajib diikuti oleh umum, terlebih bagi kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat.
Sanjaya memberikan wejangan-wejangan luhur untuk anak cucunya. Apabila sang Raja yang berkuasa memberi perintah, maka dirimu harus berhati-hati dalam tingkah laku, hati selalu setia dan taat mengabdi pada sang raja. Bila melihat gerak lirik raja, tenagkanlah dirimu menerima perintah dan tindakan dan harus menangkap isinya. Bila belum mampu mengadu kemahiran menagkap tindakan, lebih baik duduk terdiam dengan hati ditenangkan dan jangan gentar dihadapan sang raja.
Sanjaya selalu menganjurkan perbuatan luhur kepada seluruh punggawa dan prajurit kerajaan. Ada empat macam perbuatan luhur untuk mencapai kehidupan sempurna, yaitu :
·        Tresna (Cinta Kasih)
·        Gumbira (Bahagia)
·        Upeksa (tidak mencampuri urusan orang lain)
·        Mitra (Kawan, Sahabat, Saudara atau Teman) 
Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya mangkat kira-kira pertengahan abad ke-8 M. Ia digantikan oleh putranya Rakai Panangkaran.

2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)               
Rakai Panangkaran yang berarti raja mulia yang berhasil mengambangkan potensi wilayahnya. Rakai Pangkaran berhasil mewujudkan cita-cita ayahandanya, Sri Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya dengan mengambangkan potensi wilayahnya.
Nasehatnya yang terkenal tentang kebahagiaan hidup manusia  adalah :
·        Kasuran (Kesaktian)
·        Kagunan (Kepandaian)
·        Kabegjan (Kekayaan)
·        Kabrayan (Banyak Anak Cucu)
·        Kasinggihan (Keluhuran)
·        Kasyuwan (Panjang Umur)
·        Kawidagdan (Keselamatan)
Menurut Prasati Kalasan, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran dibangun sebuah candi yang bernama Candi Tara, yang didalamnya tersimpang patung Dewi Tara. Terletak di Desa Kalasan, dan sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.

3. Sri Maharaja Rakai Panaggalan (780-800 M)
Rakai Pananggalan yang berarti raja mulia yang peduli terhadap siklus waktu. Beliau berjasa atas sistem kalender Jawa Kuno. Rakai Panggalan juga memberikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berikut ini“Keselamatan dunia supaya diusahakan agar tinggi derajatnya. Agar tercapai tujuannya tapi jangan lupa akan tata hidup”
Visi dan Misi Rakai Panggalan yaitu selalu menjunjung tinggi arti penting ilmu pengetahuan. Perwujudan dari visi dan misi tersebut yaitu Catur Guru. Catur berarti empat Guru berarti berat. Jadi artinya empat guru yang mempunyai tugas berat. Catur Guru terdiri dari :
·        Guru Sudarma, orang tua yang melairkan manusia.
·        Guru Swadaya, Tuhan
·        Guru Surasa, Bapak dan Ibu Guru di sekolah 
·        Guru Wisesa, Pemerintah pembuat undang-undang untuk kepentingan bersama
Pemberian penghormatan dalam bidang pendidikan, maka kesadaran  hukum dan pemerintahan di Mataram masa Rakai Pananggalan dapat diwujudkan.
4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
Rakai Warak, yang berarti raja mulia yang peduli pada cita-cita luhur. Pada masa pemerintahannya, kehidupan dalam dunia militer berkembang dengan pesat. Berbagai macam senjata diciptakan.
Rakai Warak sangat mengutamakan ketertiban yang berlandaskan pada etika dan moral. Saat Rakai Warak berkuasa, ada tiga pesan yang diberikan, yaitu :
1.      Kewajiban raja adalah jangan sampai terlena dalam menata, meneliti, memeriksa dan melindungi.
2.      Pakaian raja adalah menjalankanlah dengan adil dalam memberi hukuman dan ganjaran kepada yang bersalah dan berjasa.
3.      Kekuatan raja adalah bisa mengasuh, merawat, mengayomi dan memberi anugrah.




5. Sri Maharaja Rakai Garung  (820-840 M)
Garung memiliki arti raja mulia yang tahan banting terhadap segala macam rintangan. Demi memakmurkan rakyatnya, Sri Maharaja Rakai Garung bekerja siang hingga malam. Hal ini dilakukan tak lain hanya mengharap keselamatan dunia raya yang diagungkan dalam ajarannya.
Dalam menjalankan pemerintahannya Rakai Garung memiliki prinsip tri kaya parasada yang berarti tiga perilaku manusia yang suci. Tri Kaya Parasada yang dimaksud, yaitu :
                                          ·        Manacika yang berarti berfikir yang baik dan benar.
                                          ·        Wacika yang berarti berkata yang baik dan benar.
                                          ·        Kayika yang berarti berbuat yang baik dan benar.
                        
6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840 – 856 M)
Dinasti Sanjaya mengalami masa gemilang pada masa pemerintahan Rakai Pikatan. Dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perut (850 M) menyebutkan bahwa Rakai Pikatan yang bergelar Ratu mencapai masa kemakmuran dan kemajuan. Pada masa pemerintahannya, pasukan Balaputera Dewa menyerang wilayah kekuasaannya. Namun Rakai Pikatan tetap mempertahankan kedaulatan negerinya dan bahkan pasukan Balaputera Dewa dapat dipukul mundur dan melarikan diri ke Palembang.
Pada zaman Rakai Pikatan inilah dibangunnya Candi Prambanan dan Candi Roro Jonggrang. Pembuatan Candi tersebut terdapat dalam prasasti Siwagraha yang berangka tahun 856 M. Rakai Pikatan terkenal dengan konsepnya Wasesa Tri Dharma yang berarti tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia.


7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (856 – 882 M)
Prasasti Siwagraha menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi memiliki gelar Sang Prabu Dyah Lokapala. Tugas utamanya yaitu memakmurkan, mencerdaskan, dan melindungi keselamatan warga negaranya.
Pada masa pemerintahannya, Rakai Kayuwangi menuturkan bahwa ada  enam alat untuk mencari ilmu, yaitu :
1.      Bersungguh-sungguh tidak gentar
Semua tutur kata dan budi bahasa dilakukan dengan baik, selaras dan menyatu.
2.      Bertenggang rasa
       Memperhatikan sikap yang kurang baik dengan kebenaran.
3.   Ulah pikiran
Menimbang-nimbang dengan memperhatikan tujuan kemampuan dan kemauan yang diterapkan harus atas pemikiran yang tepat.
4.      Penerapan ajaran 
Dalam setiap melaksanakan kehendak harus dipertimbangkan, jangan sampai tergesa-gesa. Jangan melupakan ajaran terdahulu, ajaran masa kini perlu untuk diketahui
5.      Kemauan
Sanggup sehidup semati, mematikan keinginan dan membersihkan diri. Dalam kata lain, tekad dan niat harus dilakukan dantidak segan-segan dalam melakukan pekerjaan
6.      Menguasai berbagai bahasa
Memahami semua bahasa agar mampu mengatasi perhubungan serta mampu mengakrabi siapa saja.


8.Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882 – 899 M)
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang memiliki prinsip dalam menjalankan pemerintahannya. Prinsip yang dipegangnya adalah  Tri Parama Arta yang berarti tiga perbuatan untuk mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain. Tri Parama Arta terdiri dari :
1.      Cinta Kasih, menyayangi dan mengasihi sesama makhluk sebagaimana mengasihi diri sendiri.
2.      Punian, perwujudan cinta kasih dengan saling tolong menolong dengan memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas.
3.      Bakti, perwujudan hati nurani berupa cinta kasih dan sujud Tuhan, orang tua, guru dan pemerintah.
                                        
9. Sri Maharaja Watukumara Dyah Balitung (898 – 915 M)
Pada masa pemerintahannya beliau memiliki seorang teknokrat intelektual yang handal bernama Daksottama. Pemikirannya mempengaruhi gagasan Sang Prabu Dyah Balitung. Masa pemerintahannya duja menjadi masa keemasan bagi Wangsa Sanjaya. Sang Prabu aktif mengolah cipta karya untuk mengembangkan kemajuan masyarakatnya. Dalam mengolah cipta karya, tahun 907 Dyah Balitung membuat Prasasti Kedu atau Metyasih yang berisikan nama-nama raja Kerajaan Mataram Wangsa Sanjaya. Serta menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada masa itu.

10.Sri Maharaja Rakai Daksottama (915 – 919 M)
Daksottama yang berarti sorang pemimpin yang utama dan istimewa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, Daksottama dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai raja Mataram Hindu.
                            
11. Sri Maharaja Dyah Tulodhong (919 – 921 M)
Rakai Dyah Tulodhong mengabdikan dirinya kepada masyarakat menggantikan kepemimpinan Rakai Daksottama. Keterangan tersebut termuat dalam Prasasti Poh Galuh yang berangka tahun   809 M. Pada masa pemerintahannya, Dyah Tulodhong sangat memperhatikan kaum brahmana
          
12. Sri Maharaja Dyah Wawa ( 921 – 928 M)
Rakai Sumba Dyah Wawa dinobatkan sebagai raja Mataram pada tahun 921 M. Beliau terkenal sebagai raja yang ahli dalam berdiplomasi, sehingga sangat terkenal dalam kancah politik internasional.
Roda perekonomian pada masa pemerintahannya berjalan dengan pesat. Dalam menjalankan pemerintahannya Dyah Wawa memiliki visiTri Rena Tata yang berarti tiga hutang yang dimiliki manusia. Pertama hutang kepada Tuhan yang menciptakannya, Kedua hutang jasa kepada leluhur yang telah melahirkannya. Dan ketiga, hutang ilmu kepada guru yang telah mengajarkannya.

13. Sri Maharaja Rakai Empu Sendok (929 – 930 M)
Empu Sendok, terkenal dengan kecerdasan, ketangkasan , kejujuran dan kecakapannya. Manajemen dan Akuntansi dikuasai, psikologi diperhatikan.

4.   Keruntuhan Wangsa Sanjaya
Pada abad ke-10, Dyah Wawa mempersiapkan stategi suksesi Empu Sendok yang memiliki integritas dan moralitas sebagai calon pemimpin Mataram. Pada saat itulah pemerintahan Dyah Wawa mengalami kemunduran. Empu Sendok yang memegang pemerintahan setelah Dyah Wawa meninggal merasa khawatir terhadap serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Empu Sendok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Sumber lain menyebutkan perpindahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh meletusnya gunung merapi di Jawa Tengah.

B.  Mataram Budha – Wangsa Syailendra (752 M)

1. Sejarah dan Lokasi

Syailendra adalah wangsa atau dinasti Kerajaan Mataram Kuno yang beragama Budha. Wangsa Syailendra di Medang, daerah Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa ini berkuasa sejak tahun 752 M dan hidup berdampingan dengan Wangsa Sanjaya.

2. Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali dijumpai dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, Yaitu :

 Sumber India
Nilakanta Sastri dan Moes yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakah bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyan.

Sumber Funan
Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funan mengakibatkan keluarga Kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke-8 M dengan menggunakan nama Syailendra.

Sumber Jawa   
             Menurut Purbatjaraka, Keluarga Syailendra adalah keturunan dari Wangsa Sanjaya di era pemerintahan Rakai Panangkaran. Raja-raja dari keluarga Sayilendra adalah asli dari Nusantara sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Budha Mahayana. Pendapatnya tersebut berdasarkan Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Sanjaya menyerahkan kekuasaanya di Jawa Barat kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Rakai Tamperan atau Rakeyan Panambaran dan memintanya untuk berpindah agama.
Selain dari teori tersebut di atas dapat dilihat dari beberapa Prasasti yang ditemukan, Yaitu :

Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dari pertengahan abad ke-7 itu berbahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agamat Siwa

Prasasti Kalasan
Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peninggala Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta sebagai penghadiahan desa Kalasan untuk umat Budha.



Prasasti Klurak
Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu dan Sanggha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra.

Prasasti Ratu Boko
Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang.
Nama Syailendra juga muncul dalam Prasasti Klurak  (782 M) “Syailendrawansantilakena”, Prasasti Abhayagiriwihara (792 M) “Dharmmatunggadewasyasailendra”, Prasasti Kayumwunan (824 M) “Syailendrawansatilaka”,


3. Kehidupan Ekonomi, Sosial dan Politik

Kehidupan sosial Kerajaan Mataram Dinasti Syailendra ditafsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong royong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti Syailendra juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan megah dan bernilai.
Adapun Raja-raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1.      Bhanu (752 – 775 M)
Raja Banu merupakan Raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra
 2.      Wi
Pada masa pemerintahannya, Candi Borobudur mulai dibangun tepatnya 778 M.
 3.      Indra (782 –
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan

4.      Samaratungga ( 812 –
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menhayati nilai agama dan budaya Pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai dibangun.
5.
Pramodhawardhani adalah putri Samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6.      Balaput
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibu yang bernama Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Balaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan kepada Rakai  Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pelembang.
  
4.     Keruntuhan Wangsa Syailendra
Sejak terjadi perebutan kekuasaan dan dipimpin oleh Rakai Pikatan, agama Hindu mulai dominan menggantikan agama Budha. Sejak saat itulah berakhirnya masa Wangsa Syailendra di Bumi Mataram..

Dari kedua Wangsa yang berkuasa di Bhumi Mataram tersebut, sampai saat ini masih dapat dilihat bangunan-bangunan suci yang berbentuk, yaitu :
Candi di pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari dan masih banyak yang lainnya





















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
         Kerajaan mataram kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 masehi.Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikansebuah Lingga (lambang siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yangdidirikan oleh Raja Sanjaya. Adapun raja-raja yang sempat memerintah kerajaan Mataram Kuno antara lain: 1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M) 2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M) 3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan (780-800 M) 4. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M) 5. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M) 6. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840-863 M) 7. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (863-882 M) 8. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-898 M) 9. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M) Ada beberapa aspek kehidupan yang mengalami perkembangan dalam kerajaan Mataram Kuno, antara lain: 1. Aspek Kehidupan Politik 2. Aspek Kehidupan Sosial 3. Aspek Kehidupan Ekonomi 4. Aspek Kehidupan Budaya Hindu-Buddha.

B.Daftar Pustaka









3 komentar: